Akhir-akhir ini banyak banget kabar membahagiakan
penyempurna separuh iman: Menikah.
Mulai dari tetangga yang menikahkan anaknya, story teman,
hingga kabar mengejutkan dari rekan sekantor sendiri :’D
Aku ingin bercerita sedikit tentang temanku ini, yang
menurutku kisah cintanya menginspirasi sekali. Dia adalah seorang laki-laki
kelahiran 2000, dan menjadi yang termuda di antara kami sesama CPNS. Kita sebut
Fulan, ya.
Minggu kemarin menjadi minggu terakhir kami melaksanakan
orientasi. Orientasi disini berarti kami melakukan tugas pembantuan di
unit-unit yang telah ditentukan sebelum nantinya ditempatkan di unit yang tetap,
semacam PKL gitu, tapi pindah-pindah dari satu unit ke unit lainnya (unit di
instansiku banyaaak sekali). Paling tidak untuk mengenal sedikit-lebih kegiatan
dan tupoksi instansi tempat kami bekerja. Juga mengenal pegawai-pegawainya
walaupun tidak semua. Nah ceritanya, salah seorang temanku sesama CPNS (yang
juga temannya Fulan) sedang melakukan orientasi di unit tempat Fulan
ditempatkan. Dia memberitahuku bahwa salah seorang pegawai disana bilang kalau
Fulan hendak mengajukan izin di bulan Syawal untuk menikah. Dyaarr… Rada malu
ya sebenarnya karna kami yang temannya saja tidak tahu menahu kabar ini dan
justru mengetahuinya dari orang lain. Fulan juga diam seribu bahasa. Setiap jam
makan siang pun, Fulan jarang ikut bergabung dengan kami di kantin. Jarang
terlihat. Meskipun begitu kami masih terhubung lewat whatsapp.
Temanku mengusulkan untuk diam saja mengenai kabar ini, karna
mengerti mungkin Fulan memang belum mau memberitahukannya kepada kami. Tapi…
kalian tahu aku, kan :) manusia paling gak sabaran di muka bumi. Kabar baik loh
ini, kenapa harus ditutupi?
Aku langsung menodongnya pertanyaan, “Kamu mau menikah?”
Temanku Fulan awalnya mengelak, seolah-olah kabar itu bohong
adanya. Sampai akhirnya saat pelaksanaan vaksin kemarin kami ada kesempatan
untuk berkumpul lengkap sesama CPNS, barulah disana dia mau buka suara
>.<
Mungkin udah banyak ya kisah serupa seperti temanku Fulan,
tapi pengen aja gitu aku ceritakan kembali disini hehehe.
Fulan dan calon istrinya (kita sebut Fulanah, ya) saling
kenal karena satu organisasi daerah di kampus. Jadi, di kampusku itu ada
semacam organisasi dimana isinya orang-orang dari satu daerah yang sama. Biasa
disingkat Organda. Temanku Fulan berasal dari Padang, sementara Fulanah berasal
dari Solok yang sama-sama Sumatera Barat. Aktif dalam kegiatan organda, membuat
mereka berdua sering dipertemukan dalam satu event yang sama. Diam-diam,
temanku Fulan mulai menaruh hati pada Fulanah. Tanpa embel-embel modus chatting, atau mengajak bertemu. Ya,
bertemu saat event saja. Chatting
juga selayaknya teman biasa. Temanku Fulan bercerita, setelah timbulnya
perasaan dihatinya ia hanya melakukan istikharah. Meminta kepada Allah, jika
memang Fulanah bukanlah jodohnya maka ia meminta untuk Allah angkat
perasaannya. Ya Allah… dengernya mau nangis aku :’)
Fulanah lulus terlebih dahulu, meninggalkan Fulan yang masih
dihantui bayang-bayang drop out (wkwk kampusku terkenal bgt sama DO-nya).
Selama itu Fulan menjalani harinya seperti biasa, dan di akhir masa studinya
Fulan membekali diri dengan mengikuti Sekolah Pranikah demi menjemput cintanya.
Cailaaaaah…
Momentum lulus dan mulai bekerja, menjadi titik Fulan untuk
menunjukkan keseriusannya. Tahun lalu, ia memberanikan diri untuk memberitahu
keluarganya akan keinginannya untuk menikah. Sempat tidak direstui katanya, orang
tuanya menginginkan Fulan untuk bekerja setahun dua tahun terlebih dahulu
sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Tapi yang namanya jodoh ya, pasti
dipermudah jalannya. Lambat laun orang tuanya pun akhirnya menyetujui. Restu
orang tua sudah dikantongi, maka temanku Fulan mengutarakan niat baiknya kepada
sang pujaan hati, Fulanah.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Fulanah rupanya merasakan hal
yang sama :’) (hadu tisu mana tisu). Jadi mereka sama-sama saling mendoakan,
tiga tahun lamanya. Menyambut niat baik Fulan, Fulanah memberikan nomor telepon
Ayahnya untuk Fulan hubungi. Semua terjadi cepat sekali, sampai akhirnya berada
di titik ini, dimana akad insya Allah akan terjadi bulan Syawal nanti.
Aku… bener-bener turut merasakan kebahagiannya. Ya Allah,
bisa ya seperti itu.
Dulu, aku juga sempat percaya jodohku juga akan datang
dengan cara serupa. Datang dengan cara yang baik. Tapi makin kesini, makin ditampar
sama realita kehidupan, dimana tidak sedikit orang terdekatku yang harus
menelan pil pahit pernikahan. Ketakutanku membuatku mulai merubah mindsetku, yah, mending pacaran dulu gak
sih? Jadi kayak trial sebelum
menikah, daripada besok sudah menikah malah berakhir di meja hijau.
Dan… sebenarnya takut juga sih gak ada yang mau sama aku. Ini memang sisi insecureku yang
susah banget diobati. Ngeliat temen-temen di sekelilingku pada punya pacar, gak
jarang habis putus tiba-tiba dapet gandengan baru, kayak, hmm… kok bisa cepet
banget ya. Kok gak ada yang tertarik sama aku sih? Aku kurang apa?
Pertanyaan-pertanyaan kayak gitu selalu muncul di kepalaku.
Selama ini aku ngerasa dekat dengan banyak cowok tuh ya murni
sebagai teman saja, gak lebih. Mereka curhat tentang cewe-cewe yang mereka
sukai, atau inceran yang ingin didekati, and vice versa. Bedanya, kok ya mereka jadi-jadi saja, sedangkan aku
enggak… wkwkwk.
Sampai akhirnya, aku mulai memberanikan diri untuk, “Yaudah
lah, terima yang sekiranya tertarik sama aku saja. Toh perasaan akan tumbuh
dengan sendirinya…” Dan itulah yang aku lakukan. Aku memutuskan untuk menjalin
hubungan dengan seseorang, yang, padahal aku tahu sejak awal sifat dan karakter
yang ia miliki sulit untuk aku terima kedepannya. Kasarannya, nekat bunuh diri.
Dan, ya… seperti yang diprediksikan semua orang, hubungan kami gak bertahan
lama.
Tapi berangkat dari sana, aku menemukan sejuta hikmah dan
pandangan baru tentang hidup.
Untuk lebih berhati-hati dalam membangun cinta.
Memutuskan untuk mencintai seseorang berarti siap menanggung
risiko untuk patah hati di kemudian hari, pun halnya dengan menikah. Memutuskan
untuk menikah berarti siap menanggung risiko jika suatu saat bercerai.
Bagiku yang super konservatif dan kolot, menikah itu layaknya
hidup di dunia. Once in a lifetime. Masih
aku pegang teguh sampai saat ini. Kalaupun suatu saat menikah, risiko bercerai
memang ada, tapi untuk meminimalisir risiko tersebut jadi peer besar buatku
untuk memilih seseorang yang sejalan secara visi dan misi hidup. Seseorang yang mampu aku tolerir segala kekurangannya, dan aku hargai segala kelebihannya. Disini,
prinsip kehati-hatian dalam membangun cinta harus dijalankan.
Belajar dari pengalaman kemarin juga, hmm… agaknya aku cuti
dulu deh dari cinta-cintaan, tapi bukan berarti aku menutup hati. Seseorang
pernah bilang ke aku kalo jodoh itu bisa dateng kapan saja. Nah, sambil menunggu
si jodoh datang, cuti ini aku manfaatkan sebaik-baiknya untuk memperbaiki diri
dari hari ke hari. Entah itu besok, lusa, bulan depan, atau tahun depan sekalipun,
aku ingin aku sudah siap. Siap untuk menerima, siap untuk menanggung risiko. Siap untuk
mencintai seseorang.
Dan semoga, suatu saat bisa menjalani kehidupan pernikahan yang aku impikan.